Matahari baru saja beranjak dari peraduannya, cahayanya menyeruak diantara rimbunnya dedaunan. Beberapa induk ayam terlihat mulai menggiring anak-anaknya mencari sarapan di halaman rumah Abid. Lalu lalang para petani yang hendak ke sawah serta pedagang yang akan ke pasar mulai menghiasi jalan setapak di kampung itu. Sebuah pemandangan yang selalu terlihat di pagi hari.
(Baca Bagian 1 di sini)
“Hari yang cerah.” Gumamnya.
Sembari merapikan lengan kemeja
yang dikenakannya, Abid menyeruput kopi hitam yang Ia racik sendiri. Sesekali Ia
melihat jam di handphonenya, seperti menunggu waktu yang tepat untuk beranjak.
Hari ini adalah hari bahagia
untuk Atin dan Hamdan, suaminya. Hari dimana seluruh kerabat dan sejawatnya
akan menyaksikan betapa anggunnya Atin berbalut gaun pengantin di atas
pelaminan. Hari dimana Atin akan menerima ucapan selamat atas pernikahannya,
yang mana keberlangsungan acara itu seluruhnya atas prakarsa Abid. Ia memang
dengan sengaja mengajukan diri kepada keluarga Hamdan untuk melakukannya,
dibantu oleh beberapa orang teman lainnya.
Tentu saja tak hanya pesta itu
yang Ia persiapkan, hal terpenting yang Ia sadari adalah bagaimana mepersiapkan
diri mengahadapi kenyataan bahwa selamanya Ia tak kan pernah bisa memiliki
Atin. butuh waktu tidak sebentar untuk meyakinkan diri bahwa Ia bisa
melewatinya dan memutuskan membantu Atin meyiapkan pestanya. Dan hari ini Abid
akan menunjukkan pada dunia bagaimana cinta itu sesungguhnya.
“Nak Abid sudah sarapan?” Sapa
Ibu mertua Atin setibanya di lokasi acara.
“Sudah Bu tadi di rumah.”
Jawabnya tersenyum. “Sarapan nasi juga sarapan kenyataan hihi.” Gumamnya dalam
hati
Abid lalu memeriksa seluruh
persiapan acara setelah sedikit berbincang ringan dengan Ibu mertua Atin. Satu
per satu dari teman-teman yang membantunya Ia tanyai. Semua sudah siap.
Pengantin pun kabarnya hampir selesai dirias. Kini mereka hanya tinggal
menunggu para tamu.
Abid menatap lekat pada kemegahan
pelaminan yang terhampar di depannya. Sehirup nafas Ia hela, mengingat Ia
pernah dan bahkan masih berharap akan menjadi pria yang mendampingi Atin di
singgasana cinta itu. Harapan yang kini Ia kubur jauh di relung hatinya, lebur
bersama cinta mendalam yang tak pernah sempat Ia utarakan.
“Bid...” Sebuah sentuhan lembut
di pundaknya, diiringi suara yang sangat familiar seketika membuyarkan
lamunannya. Ia menoleh cepat, pandangannya mendarat di wajah pemilik suara itu.
Atin, terlihat sangat anggun dengan gaun pengantinnya. Senyumnya penuh makna,
merasuk ke dalam sum-sum Abid. “Tidakkah bidadari cemburu padamu?” gumamnya
dalam hati.
Sejenak Abid terpana, getaran
yang sama masih saja bergejolak seperti waktu mereka bertemu dahulu. Ingin
rasanya Ia memeluk tubuh indah itu, untuk pertama dan terakhir kalinya, tetapi
tidak lah mungkin, seorang pria berpakaian dengan warna senada telah berdiri di
samping Atin. pria yang telah dipilihnya sebagai teman hidup. Abid tersenyum
pada Hamdan dan kembali memandang Atin.
“Selamat ya.” Lirihnya dengan
senyum yang tertahan.
“Makasi ya untuk semuanya.”
Timpal Atin seraya meraih tangan Abid untuk di jabat. Telapak tangan Atin
terasa sedikit aneh, agak kasar dan bersudut. Abid menyadari bahwa ada secarik
kertas yang tertinggal di telapak tangannya setelah Atin melepaskan jabatannya.
Hamdan tidak menyadari apa yang dilakukan istrinya lalu memberi isyarat agar
mereka segera naik ke pelaminan. Atin mengiyakan.
Tamu sudah mulai berdatangan, silih
berganti memberi selamat pada raja dan ratu di hari itu. Rona bahagia terpancar
dari wajah mereka. Canda tawa menjadi turunan dari obrolan tidak jelas yang
mereka kelakarkan. Tak sedikit pula dari mereka yang mengabadikan momen hari
itu dengan berfoto bersama kedua pengantin. Musik romantis yang mengiringi
hajatan itu seolah mempertegas bahwa kebahagiaan menyelimuti mereka semua.
Di sebuah sudut ruangan yang
tidak tersentuh keramaian, Abid mengamati kertas berlipat pemberian Atin. Ia
sudah tidak tahan dengan gejolak penasaran serta serbuan pertanyaan-pertanyaan
di benaknya. Tabuhan genderang menderu di dadanya. Perlahan Ia membukanya,
terdapat beberapa bait tulisan tangan.
Terimakasih untuk ketulusanmu
Telah setia mencintaiku dalam diam
Tak ada yang perlu di persalahkan
Bahkan waktu yang tidak memihak pada kita sekalipun
Karena cinta tak pernah salah
“Selamat siang semuanya.” Sapa
Abid dengan percaya diri kepada para tamu melalui microphone di panggung band pengiring acara. Sontak saja sebagian
besar hadirin menoleh kepadanya, terlebih mereka yang mengenal sosok Abid.
Mereka bahkan saling berbisik menanyakan apa yang hendak dilakukan Abid disana.
Atin tak kalah heran di buatnya.
“Saya akan menyanyikan sebuah
lagu, tapi Saya tidak yakin apakah Saya bisa nyanyi atau tidak, semoga terhibur.”
Lanjutnya sembari mengumbar senyum
“Sejak kapan bocah ini berani
nyanyi di depan orang banyak?” seloroh Umam yang kemudian di amini oleh
teman-temannya yang lain.
Musik mulai mengalun, Abid
mengambil nafas dan merapikan posisinya. Sesekali wajahnya tertunduk pertanda
Ia menghayati musik yang mengiringinya. Dua tiga bait awal Ia lalui dengan
baik.
Atin yang telah terbiasa dengan
lagu-lagu mulai menyadari makna dari lirik yang dinyanyikan Abid. Matanya mulai
sayu, tatapannya hambar. Ia merunduk karena tak kuasa melihat lelaki itu
mengungkapkan isi hatinya lewat syair yang amat mendalam. Perlahan, bulir air
matanya mulai berjejal meminta keluar, ia tak kuasa menahan haru yang mengoyak
relung hatinya.
Jadikan ini
Perpisahan yang termanis, yang indah dalam hidupmu
Sepanjang waktu
Semua berakhir
Tanpa dendam dalam hati, maafkan semua salahku
Yang mungkin menyakitimu
Abid menyelesaikan lagu itu dengan baik, riuh tepuk tangan para undangan mengiringi langkahnya
menuruni panggung mini itu. Bahkan Umam tak menyangka Ia mampu mengendalikan
emosinya. Berbeda dengan Atin, sedu sedan tak dapat ia tahan. Air matanya
mengucur semakin deras. Lagu itu
menyayat seisi hatinya. Hamdan bahkan tampak kebingungan tak mengerti apa yang
terjadi, Atin coba Ia tenangkan sebisanya.
Seminggu setelah pesta itu
berlalu, Abid benar-benar merealisasikan makna dari lagu yang Ia nyanyikan kala
itu. Ia memutuskan untuk pergi jauh dari lingkungan yang bisa mengingatkannya
selalu pada Atin. Ia ingin memulai sebuah kehidupan baru tanpa bayang-bayang
masa lalu. Tidak tanggung-tanggung, Mesir menjadi pilihannya. Hanya saja Ia
pergi kesana bukan untuk belajar, melainkan bekerja pada sebuah perwakilan
perusahaan Indonesia di Kairo. Dengan restu dari ibunya, serta di iringi Umam
sahabatnya, Ia meninggalkan tanah air untuk waktu yang tak dapat Ia pastikan.
“Biaya move on mahal juga ya
Bid.” Canda Umam disambut pekik tawa mereka.
Kabar itupun sampai ke telinga
Atin. tak ada yang bisa Ia lakukan, dalam hatinya Ia hanya mendoakan segala
yang terbaik bagi Abid. Ia pun berusaha menjalani rumah tangganya sebaik
mungkin.
6 Tahun Kemudian
“Bang, kalau ada kesempatan sore
ini diminta kerumah sama ayah.” Sapa Anna setibanya di ruang kerja Abid dengan
wajah penuh harap. Abid kini di panggil kembali ke Indonesia guna di tempatkan
di kantor induk.
“Insya Allah ya dik.” Abid tersenyum. “Memangnya ada apa?”
“Nggak tau bang, ayah cuma pesan begitu.”
“Abang usahain nanti
ya.”
Anna pun pamit setelah ngobrol
ringan dengan Abid. Ia adalah putri dari pimpinan pusat perusahaan tempatnya
bekerja, Abid mengenalnya sejak 3 tahun lalu saat masih sama-sama berada di
Kairo, waktu itu Anna adalah mahasiswi di Universitas Al-Azhar yang letaknya
tidak begitu jauh dengan kantornya. Anna adalah gadis yang cerdas,
pandangan-pandangannya tentang perkembangan perekonomian dunia seringkali
membuat Abid mengaguminya. Begitu pula dengan Anna, merasa nyaman karena
menemukan sosok yang tepat untuk berbagi. Perlahan ia mulai menyukai pribadi
Abid.
Pukul 4 sore, Abid sudah terlihat
berada di teras depan rumah Anna saat Ia baru saja sampai rumah. Nampaknya ia
sedang berbincang dengan Pak Burhan, ayah Anna.
“Lah kok duluan abang yang nyampe
sini? Sudah lama?” cetus Anna
“Baru saja dik.” Tukas Abid
“Buatin minum ya Na.” Sahut ayah
Anna
“Iya yah.” Jawabnya sembari
bergegas masuk rumah
Abid dan Pak Burhan masih
terlibat obrolan ringan saat Anna datang membawa nampan berisi minuman dingin.
Keduanya sesekali terlihat tertawa kecil. Pak Burhan kemudian mengajak Anna
untuk ikut duduk bersama mereka. Abid yang baru beberapa hari ini pulang dari
Kairo banyak bercerita tentang perkembangan perusahaannya di kantor cabang
Kairo, Pak Burhan pun dengan antusias mendengarnya.
Tiga puluh menit berlalu, Pak
Burhan memperbaiki posisi duduknya, wajahnya tampak serius meneguk minuman di
depannya.
“Begini.” Pak Burhan membuka
percakapan, masih dengan wajah seriusnya. Abid dan Anna pun tak kalah serius
menunggu apa yang akan dikatakannya.
“Saya sudah banyak mendengar
cerita tentang nak Abid dari Anna, juga tentang kedekatan kalian selama di
Kairo, Saya juga sudah sangat mengenalmu.” Pak Burhan memanggil Abid dengan
panggilan anak karna dari segi usia memang beliau sebaya ibunya Abid. Nafas
yang di helanya menyihir dua anak muda di depannya hingga membatu, tak sekata
pun mereka ucapkan, mereka hanya menanti kelanjutan kalimat dari Pak Burhan.
“Saya melihat kalian punya ketertarikan
terhadap masing-masing, apa kalian tidak terpikir untuk menikah saja?” sambung
Pak Burhan
Abid dan Anna kompak terperangah
mendengar Pak Burhan yang to the point. Mereka
tak menyangka hal itu yang akan dikatakannya.
“Kamu nikahi saja dia, toh juga
dia sosok yang sempurna untuk jadi seorang istri.” Saran Umam setelah Abid
menceritakan kejadian dua hari yang lalu di rumah Anna. “Bodoh Kamu, udah kayak
kucing dikasi ikan malah minta waktu buat mikir.” Sambung Umam.
“Ngomong sih gampang Mam, kalau
kucingnya gak nafsu makan gimana?” Abid membela diri
“Ya sudah buat Aku saja.” Pinta
Umam
“Lah nggak gitu juga dong.”
“Tadi nggak mau, giliran buat Aku
malah nggak ngasi, payah.”
“Ini perempuan Mam, bukan nasi
bungkus pecel lele.”
“Lantas?”
“Aku takut tak bisa mencintainya,
disisi lain juga nggak enak kalau harus menolak Pak Burhan.” Jelas Abid dengan
ekspresi wajah datar.
Teras depan rumah Abid sore itu
terdengar ramai meski hanya mereka berdua disana, canda mereka tentang Anna tak
pernah ada habisnya. Hal yang biasa dilakukan pria bila bertemu dengan
teman-temannya.
Seakan habis materi untuk
dibahas, Umam mendengung tak jelas. Kedengarannya Ia sedang mencoba untuk
bernyanyi. Abid memandangnya sinis.
“Baca mantra apa kamu Mam?” ejek
Abid yang dibalas gerutuan dari Umam
Abid beranjak masuk kedalam rumah
tanpa menghiraukan Umam yang masih saja bermantra, eh bernyanyi, tetapi hanya
butuh tujuh kedipan mata hinga Ia kembali lagi keluar. Ditangan kanannya tampak
Ia membawa sesuatu.
“Apa itu”? Selidik Umam
“Buat perbaiki telinga biar nggak
pecah dengar Kamu nyanyi.” Abid meledek lagi
“Ini radio yang dari zaman Rhoma
belum bisa main gitar itu ya?”
“Iya, radio lejen, penuh kenangan
hehe.”
“Kenangan apaan, lecek gitu.”
Abid menyalakan radio itu,
perlahan Umam mulai menikmati suara musik yang mengalun syahdu, tak disangkanya
barang rongsok itu masih berfungsi dengan baik. Umam tak tau banyak tentang
radio itu hingga Abid menceritakan semua yang tersirat dari benda tua tersebut.
Yang berbeda hanya tak lagi ada pemandu siar yang mampu menyihirnya seperti
dulu lagi.
Sedan putih yang di kendarai Atin
berhenti di depan sebuah Sekolah Dasar tepat saat bel pulang berbunyi. Ia
hendak menjemput Tina, anaknya yang kini duduk di kelas satu. Pandangannya
sibuk mengamati satu per satu anak-anak yang keluar dari gerbang sekolah itu.
Tina tampak berlari-lari kecil
dari kejauhan bersama teman-temannya, Atin melambaikan tangan padanya. Tetapi
pandangannya beralih pada sosok pria yang mengiringi langkah anak-anak itu
menuju gerbang sekolah. Tampaknya dia seorang guru, semakin dekat semakin lekat
Atin memperhatikannya. Ia seperti mengenal sosok itu. Ia tak sadar bahwa Tina
sudah berada didekatnya dan menyaksikan dirinya mematung. Atin mendekati pria
itu.
“Abid?” Sapanya, masih dengan
tatapan yang terheran-heran
Ya, pria itu adalah Abid
Abid tertegun sejenak, wajah dan
suara itu ternyata masih saja membuat
jantungnya berdetak tak beraturan. Matanya tak berkedip menatap perempuan yang
tak pernah bisa Ia singkirkan dari hatinya itu. Ia merasakan kembali getaran
yang dulu pernah memporak porandakan jiwanya.
“Hei, Atin? Nggak nyangka bisa
ketemu disini, apa kabar?” Sahutnya mencoba mengendalikan diri.
“Aku baik.” Atin masih tak
percaya sosok didepannya itu benar-benar Abid. “Kapan pulang dari Kairo?”
“Baru sebulan mungkin, ini anak
kamu?”
“Iya.” Atin mulai menundukkan
pandangannya. “Kamu ngajar disini?” lanjutnya
“Nggak, sekolah ini dikelola
yayasan Ibuku, jadi Aku kesini buat liat-liat saja.” Jelas Abid
“Kamu pulang kok nggak ngabarin?”
Abid terdiam tak dapat menjawab
pertanyaan Atin.
“Lantas sehari-hari kamu
ngapain?” Atin menyelidik
“Aku diminta stay di kantor pusat sama pimpinan.”
“Om Abid lucu ma, tadi di
dongengin si kancil.” Celetuk Tina
“Oh ya?” Atin merunduk menatap
mata anaknya
“Iya, besok lagi ya Om.” Pinta
Tina kali ini menatap pada Abid
“Iya sayang.” Sahutnya tersenyum
dan mengelus kepala gadis kecil itu. Atin hanya
tersenyum melihat keakraban mereka.
Atin tak segera pulang, ia tak
ingin pertemuannya dengan Abid berlalu begitu saja. Abid pun setuju kala Atin
meminta waktunya untuk makan siang bersama di sebuah cafe tak jauh dari sekolah
itu. Rona bahagia tak dapat Atin sembunyikan. Tina tak kalah senangnya karena
bisa menghabiskan waktu bersama sosok yang dianggapnya lucu itu.
Hampir seluruh detil kehidupan
Abid di Kairo ditanyakan Atin sementara anaknya ia biarkan sibuk dengan
gadgetnya, Ia begitu antusias mendengarkan cerita sang teman lama. Wajah lelaki
itu tak pernah lepas dari tatapan matanya.
”Kamu sudah menikah?” Selidik
Atin
“Belum.”
“Betah banget sendiri.”
Abid menghela nafas, ia
mengangkat kepalanya lalu bersandar pada dinding cafe itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa
membuka hati untuk orang lain sementara pelarian ragaku tak pernah mampu
menghapus bayangmu dihatiku.” Jawab Abid setelah agak lama terdiam
Atin terhenyak mendengar
pengakuan Abid, matanya berbinar tanpa mampu ia kendalikan. Ia tak menyangka
bahwa dirinyalah alasan mengapa Abid masih sendiri.
“Maaf, aku nggak bermaksud lancang.” Lanjut Abid menyadari bahwa tak
seharusnya ia mengatakan hal itu pada seorang perempuan yang telah bersuami.
“Hamdan apa kabar?” Abid mengalihkan pembicaraan. Tetapi bukannya tengadah Atin
justru semakin tertunduk, air matanya semakin deras saja, bahkan kini isaknya
terdengar jelas oleh Abid. Abid menjadi tak mengerti, di pandangnya sosok
didepannya itu dengan seksama berharap ada gestur tubuh yang setidaknya bisa
mengurangi kebingungannya.
Sepuluh menit berlalu, tak
sepatahpun kata berani diucapkan Abid, ia masih tak tau harus berbuat apa. Tina
yang tadinya asyik sendiri pun kini mendekati ibunya dan bertanya mengapa ia
menangis. Tak ada jawaban, hanya tangannya membuka dan meraih tubuh Tina,
didekapnya anak itu lekat, lalu kemudian hening.
Abid menyaksikan semua itu dengan
raut wajah dipenuhi tanda tanya, sesalah itukah ia mengutarakan isi hatinya
tadi? Ataukah sesuatu telah terjadi pada pernikahannya?
“Hamdan meninggal di tahun pertama pernikahan Kami.”
Sekian lama larut dalam
keheningan akhirnya Atin membuka suara, yang mana jawaban itu membuat posisi
duduk Abid berubah menjadi lebih tegak. Rasa tak percaya dan menyesal telah
bertanya bergulat dikepalanya dan membuatnya membisu. Dan yang tak habisnya ia
pikir, mengapa Umam tak menceritakan hal itu kepadanya.
Atin tak memberikan kesempatan
pada Abid untuk bersuara, setelah mampu menguasai diri ia bercerita panjang
tentang kecelakaan hebat yang merenggut nyawa suaminya. Air matanya memang
sudah tak menetes lagi, namun rona kesedihan jelas terpancar dari wajahnya. Di
luar sana gerimis tampak mulai berjatuhan, seperti berirama dengan tutur Atin
yang menambah sendu suasana kala itu.
Hening.
10 menit dihabiskan masing-masing
dari mereka untuk bernalar, saling menunggu untuk bicara.
“Bang Abid?” Sapa seseorang dari
arah samping memecah sunyi yang menyelimuti ruang bicaranya dengan Atin.
“Anna?” Tengok Abid setengah
terkejut. “Sedang apa disini?” Lanjutnya
“Pengen aja, abang sendiri
ngapain?”
“Ehh...ini...” Entah kenapa Abid
sedikit kikuk mengahadapi situasi tak terduga ini. “ Oh ya kenalkan, ini Atin
sahabat lama saya.” Abid kemudian memperkenalkan Anna pada Atin sebagai anak
dari atasannya.
“Jadi dia perempuan yang buat
abang menutup hati untuk mereka-mereka yang dulu pernah mencoba mengetuknya?”
Tanya Anna mendengar cerita Abid tentang Atin, setelah Atin pergi tentunya.
Abid mengangguk pelan membuat rona di wajah Anna redup.
“Bahkan dengan kenyataan yang
melekat padanya sekarang?” buru Anna menyinggung status Atin. abid tertunduk
tak bersuara. Tak ingin Ia menyakiti hati gadis di depannya itu dengan jawaban
yang sebenarnya sudah diketahuinya. Nyatanya, diamnya itu sudah cukup tajam
untuk mengiris bawang tepat dibawah mata Anna hingga air matanya mengucur deras
namun tak bersuara. Abid kian tertunduk,
matanya bermain dengan jemari dua tangannya yang ia dekatkan, tetapi
hati dan benaknya kompak menyalahkan dirinya sendiri.
“Jawab dong bang, mau nikah sama
Aku nggak sih?” Anna kian mendesak. “Aku siap terima kenyataan kok kalau abang
belum bisa cinta sama aku, tapi perlahan nanti pasti bisa.” Yakin Anna
Abid menghela nafas, ia menatap
lekat pada mata Anna yang masih berbinar, kemudian tersenyum. Alis Anna
mengkerut pertanda tak mengerti maksud senyum Abid. Bahkan penulis pun tak tau
makna senyum itu.
“Akhirnya kamu nikah juga Bid.” Bisik
Umam yang mendampingi Abid menyalami seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya
sore itu.
“Lega.” Jawab Abid sembari
tersenyum puas kemudian melirik Anna disamping kirinya yang kini telah Ia
peristri. Anna tersenyum menanggapi bisik-bisik dua sahabat itu. Canda-canda
mereka seolah menceritakan bahagia yang tengah mereka rasakan.
Hampir semua tamu telah meninggalkan tempat itu,
hanya beberapa saja yang tersisa. Sampai akhirnya seseorang berjalan mendekat
ke arah mereka.
“Selamat ya Bid.” Salamnya kemudian
“Terimakasih Tin.” Jawab Abid
yang entah mengapa butuh seperempat menit baginya untuk menyadari bahwa sosok
itu adalah Atin.
“Kamu tau jalan pulang.” Sambungnya
sembari menatap lekat mata Abid, Ia kemudian menyalami Anna dan berlalu
meninggalkan mereka yang tak sempat bertanya tentang maksud ucapannya.
“Atin.” Abid berusaha
memanggilnya, namun suaranya seperti tertahan. Berulang kali Ia mencobanya
tetapi tetap saja tak bisa.
“Bid... Abid...” Panggil Umam
yang juga kebingungan melihatnya kelu. “Bid...” Umam mencoba kembali.
Abid mendengar suara Umam, namun
Ia seperti tak menyadari keberadaannya. Pandangannya tiba-tiba berubah silau,
seseorang seperti sengaja memancarkan cahaya ke arah matanya.
“Bid, Kamu kok tidur di kantor
sih?” gerutu Umam seketika membuat Abid tersadar
“Ah? Mmmm...” Abid mengucek
matanya dan mendapati Umam telah berdiri di depannya. Abid menatap
sekelilingnya.
“Ini kantor?” Tanya Abid polos
“Ya iyalah, sejak kapan ini jadi
kamar hotel?”
Abid tersenyum kecil menyadari
bahwa semua yang di alaminya tadi hanyalah mimpi.
“Malah senyum-senyum nggak jelas,
aneh Kamu.” Umam terus saja menggerutu namun Abid tak menghiraukannya.
Tiing tuung...
Handphone Abid yang sejak tadi
tergeletak di meja kerjanya berdenting, pertanda sebuah pesan masuk. Perlahan di
raihnya HP itu.
Bang, nggak pa2 lah kalau nggak bisa nikahin adk
Nggk perlu jelasin apa2, adk ngerti kok
Adk jg udah ngomong sama ayah dan alhamdulillah beliau ngerti posisi
abang
jd abang
nggk perlu ngerasa nggak enak sama ayah.
Anna
Sejenak Abid terlihat berpikir
keras, kemudian berulang kali menganggukkan kepalanya. Umam kebingungan.
“SMS siapa?” Tak ingin penasaran
mengganggunya, Iapun bertanya
“Mau tau aja.” Jawab Abid
sekenanya kemudian tersenyum lebar membuat Umam menggeleng-geleng mendapati
sahabatnya yang semakin aneh saja.
“Ayo keluar cari makan.” Lanjut Abid
kemudian
“Gitu kek dari tadi.”
“Aku tau jalan pulang.” Gumam
Abid pelan
“Saya terima nikahnya Agustina Alsyagofa binti Alimuddin dengan
maskawin tersebut, tunai.”
“Bagaimana para saksi nikah, sah?”
“Saaaahhhh....”
“Alhamdulillah barakallah....”
Lantang dan riuhnya suasana akad
nikah sore itu terdengar hingga tiga empat ruangan di sekitar aula kantor KUA
tempat berlangsungnya acara tersebut.
“Akhirnya kamu nikah beneran
juga.” Bisik Umam meledek Abid yang kemarin sempat bercerita tentang mimpinya. Umam
pula lah yang meyakinkan Abid untuk menyegerakan pernikahan itu.
“Ini bukan mimpi lagi kan?” Tukas
Abid yang di sambut tawa renyah mereka, tak terkecuali Atin yang berdiri tepat
di sampingnya di dampingi Ibunda Abid dan Tina.
Abid menoleh ke arah Atin. Beberapa
scene kenangan seperti terputar kembali satu persatu di benaknya. Bagaimana mereka
dulu bertemu, bagaimana dulu ia begitu tenggelam dalam kekagumannya pada hawa
itu. Betapa dulu ia pernah rela pilu demi bahagia sang cinta.
Seperti tak ada yang berubah. Atin
tetaplah sosok yang mengagumkan, indah parasnya seperti tak pernah pudar, teduh
senyumnya selalu saja memberikan kesejukan. Tuturnya merasuk bagai sihir sang
peri, perangainya tergambar dari senyumnya. Betapa Ia adalah anggukan bagi
setiap pertanyaan akan keindahan. Ia tetap Atin yang dulu. Yang berbeda
hanyalah kini Abid tak sekedar mengagumi, tetapi memilikinya.
Atin menatap pada Abid yang sejak
tadi memperhatikannya, mereka berbalas senyum.
“Sudah sudah, nanti pacarannya.” Umam
menghentikan perjalanan mereka bertamasya ke dunia hayal. Keduanya tersipu.
“Terimakasih radio tua.” Abid membatin.
SELESAI
Tingkatkan lagi...
BalasHapusSiap,nanti ke lantai 2 hihihi
Hapushmmmm...
BalasHapusbikin baperrrr,,,,
perasaanku jadi gmnaaaa gtu,,,
miripppp,,,
hahaha,,,, hati-hati suami marah
Hapus