Selasa, 18 April 2017

Refleksi Seperempat Abad: BERHENTI BERTANYA “KAPAN NIKAH?”




Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang Kamu dustakan?”
 
Alhamdulillah, Tuhan masih mempercayakan Saya meminjam jasad ini hinngga 25 tahun lamanya. Semoga tetap diberi kesempatan untuk berbuat baik dan berbagi kepada sesama, meski hanya berupa tawa.

Well, 25, angka yang mulai tampak meyakinkan, meski terkadang mengerikan. Angka yang menunjukkan seseorang perlahan terlihat mulai memiliki segala aspek kematangan. Bersyukur sekali rasanya masih bisa berdiri tegak dan menikmati oksigen yang berebutan masuk melalui rongga hidungku.


Wait...wait... dua lima? Hahaha....
What’s on your mind?
Kalau Kamu berada di sisi lain dari negeri ini, katakanlah Bandung, dan Kamu bertanya apa pendapat orang-orang tentang pria berusia 25, mungkin sebagian besar dari mereka akan mengatakan bahwa itu adalah usia yang ideal untuk mematangkan bisnis, memperluas jaringan atau meniti karir yang baik.

Tapi sayang, we was born in the wrong side of this country (correct me if my english is berantakan). Ya... Lombok. Suku Sasak tepatnya (specifically for this case). Apa yang di katakan orang-orang kita terhadap seorang pria lajang berusia 25 tahun?
Look at my Facebook timeline. Found something? .......... Yes, you get the answer. Sebuah pertanyaan ringan namun penuh racun, pertanyaan sederhana namun bisa menyulap damai menjadi tikai.

“Piran merarik?”

Adalah sebuah ungkapan dalam bahasa sasak yang artinya “kapan nikah?”, ditanyakan oleh segala jenis manusia yang ada di muka bumi ini, berulang kali. Kebanyakan dari mereka bertanya dengan raut wajah tanpa berdosa. Saya tidak perlu menjelaskan bagaimana rasanya, bukan?

Tapi baiklah, Saya akan menulis tanggapan Saya terhadap para penanya itu, karena memang tidak ada bahan lain yang akan Saya tulis sih...
Begini, Saya merasa terhormat ketika yang bertanya adalah seorang yang lebih tua, lebih dewasa, dan tentunya sudah berkeluarga. Karena mungkin dia beranggapan bahwa Saya sudah cukup mampu untuk berumah tangga. Jadi, pastinya dia bertanya serius, tidak sekadar basa basi bansu.

Berikutnya, yang ini cenderung membingungkan. Kadang menyebalkan, kadang juga membuat Saya berpikir, adalah saat yang bertanya itu seorang teman sebaya. Jika dia sudah menikah, mungkin pertanyaannya tidak akan jadi masalah. Tetapi jika belum? Pliss deh, sesama anggota Aliansi Masyarakat Tuna Asmara sebaiknya jangan saling mengusik dengan hal-hal receh semacam ini.

Kelompok terakhir, ini bagian yang paling menyebalkan. Sia-sia sekali rasanya mendengarkan pertanyaan itu dari seorang bocah a.k.a. chili-chilian. Mereka tidak kompeten untuk menanyakan hal tersebut meski hanya sekadar sebagai pembuka kata. Saya keberatan ditanyai oleh kelompok ini, karena ini juga bukan ranah mereka.

So, teman-teman yang sudah masuk di seperempat abad club dan masih singel, persiapkan mentalmu untuk menghadapi pertanyaan granat yang bisa membuatmu meledak seketika ini. Kalian akan menemuinya kapan saja dan dimana saja.

Pesan Saya untuk kalian yang bibirnya ringan sekali melantunkan kalimat beracun tersebut, berpikirlah minimal tujuh detik sebelum bertanya. Karena kalian tidak tau apa yang ada dalam pikiran Kami saat itu. Kalian juga tidak akan pernah tau perjalanan seperti apa yang Kami lalui hingga berada di titik ini, serta hal-hal apa yang membuat Kami memutuskan untuk memilih masih sendiri.

Doa boleh, nanya jangan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terkait

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *