Rabu, 26 Oktober 2016

Balada Radio Tua (Bagian 2)


Matahari baru saja beranjak dari peraduannya, cahayanya menyeruak diantara rimbunnya dedaunan. Beberapa induk ayam terlihat mulai menggiring anak-anaknya mencari sarapan di halaman rumah Abid. Lalu lalang para petani yang hendak ke sawah serta pedagang yang akan ke pasar mulai menghiasi jalan setapak di kampung itu. Sebuah pemandangan yang selalu terlihat di pagi hari.


(Baca Bagian 1 di sini)


“Hari yang cerah.” Gumamnya.

Sembari merapikan lengan kemeja yang dikenakannya, Abid menyeruput kopi hitam yang Ia racik sendiri. Sesekali Ia melihat jam di handphonenya, seperti menunggu waktu yang tepat untuk beranjak.
Hari ini adalah hari bahagia untuk Atin dan Hamdan, suaminya. Hari dimana seluruh kerabat dan sejawatnya akan menyaksikan betapa anggunnya Atin berbalut gaun pengantin di atas pelaminan. Hari dimana Atin akan menerima ucapan selamat atas pernikahannya, yang mana keberlangsungan acara itu seluruhnya atas prakarsa Abid. Ia memang dengan sengaja mengajukan diri kepada keluarga Hamdan untuk melakukannya, dibantu oleh beberapa orang teman lainnya.

Tentu saja tak hanya pesta itu yang Ia persiapkan, hal terpenting yang Ia sadari adalah bagaimana mepersiapkan diri mengahadapi kenyataan bahwa selamanya Ia tak kan pernah bisa memiliki Atin. butuh waktu tidak sebentar untuk meyakinkan diri bahwa Ia bisa melewatinya dan memutuskan membantu Atin meyiapkan pestanya. Dan hari ini Abid akan menunjukkan pada dunia bagaimana cinta itu sesungguhnya.


  •  


“Nak Abid sudah sarapan?” Sapa Ibu mertua Atin setibanya di lokasi acara.
“Sudah Bu tadi di rumah.” Jawabnya tersenyum. “Sarapan nasi juga sarapan kenyataan hihi.” Gumamnya dalam hati

Abid lalu memeriksa seluruh persiapan acara setelah sedikit berbincang ringan dengan Ibu mertua Atin. Satu per satu dari teman-teman yang membantunya Ia tanyai. Semua sudah siap. Pengantin pun kabarnya hampir selesai dirias. Kini mereka hanya tinggal menunggu para tamu.
Abid menatap lekat pada kemegahan pelaminan yang terhampar di depannya. Sehirup nafas Ia hela, mengingat Ia pernah dan bahkan masih berharap akan menjadi pria yang mendampingi Atin di singgasana cinta itu. Harapan yang kini Ia kubur jauh di relung hatinya, lebur bersama cinta mendalam yang tak pernah sempat Ia utarakan.

“Bid...” Sebuah sentuhan lembut di pundaknya, diiringi suara yang sangat familiar seketika membuyarkan lamunannya. Ia menoleh cepat, pandangannya mendarat di wajah pemilik suara itu. Atin, terlihat sangat anggun dengan gaun pengantinnya. Senyumnya penuh makna, merasuk ke dalam sum-sum Abid. “Tidakkah bidadari cemburu padamu?” gumamnya dalam hati. 

Sejenak Abid terpana, getaran yang sama masih saja bergejolak seperti waktu mereka bertemu dahulu. Ingin rasanya Ia memeluk tubuh indah itu, untuk pertama dan terakhir kalinya, tetapi tidak lah mungkin, seorang pria berpakaian dengan warna senada telah berdiri di samping Atin. pria yang telah dipilihnya sebagai teman hidup. Abid tersenyum pada Hamdan dan kembali memandang Atin.

“Selamat ya.” Lirihnya dengan senyum yang tertahan.
“Makasi ya untuk semuanya.” Timpal Atin seraya meraih tangan Abid untuk di jabat. Telapak tangan Atin terasa sedikit aneh, agak kasar dan bersudut. Abid menyadari bahwa ada secarik kertas yang tertinggal di telapak tangannya setelah Atin melepaskan jabatannya. Hamdan tidak menyadari apa yang dilakukan istrinya lalu memberi isyarat agar mereka segera naik ke pelaminan. Atin mengiyakan.





Tamu sudah mulai berdatangan, silih berganti memberi selamat pada raja dan ratu di hari itu. Rona bahagia terpancar dari wajah mereka. Canda tawa menjadi turunan dari obrolan tidak jelas yang mereka kelakarkan. Tak sedikit pula dari mereka yang mengabadikan momen hari itu dengan berfoto bersama kedua pengantin. Musik romantis yang mengiringi hajatan itu seolah mempertegas bahwa kebahagiaan menyelimuti mereka semua.

Di sebuah sudut ruangan yang tidak tersentuh keramaian, Abid mengamati kertas berlipat pemberian Atin. Ia sudah tidak tahan dengan gejolak penasaran serta serbuan pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Tabuhan genderang menderu di dadanya. Perlahan Ia membukanya, terdapat beberapa bait tulisan tangan.

Terimakasih untuk ketulusanmu
Telah setia mencintaiku dalam diam
Tak ada yang perlu di persalahkan
Bahkan waktu yang tidak memihak pada kita sekalipun
Karena cinta tak pernah salah


  •   


“Selamat siang semuanya.” Sapa Abid dengan percaya diri kepada para tamu melalui microphone di panggung band pengiring acara. Sontak saja sebagian besar hadirin menoleh kepadanya, terlebih mereka yang mengenal sosok Abid. Mereka bahkan saling berbisik menanyakan apa yang hendak dilakukan Abid disana. Atin tak kalah heran di buatnya.

“Saya akan menyanyikan sebuah lagu, tapi Saya tidak yakin apakah Saya bisa nyanyi atau tidak, semoga terhibur.” Lanjutnya sembari mengumbar senyum

“Sejak kapan bocah ini berani nyanyi di depan orang banyak?” seloroh Umam yang kemudian di amini oleh teman-temannya yang lain.

Musik mulai mengalun, Abid mengambil nafas dan merapikan posisinya. Sesekali wajahnya tertunduk pertanda Ia menghayati musik yang mengiringinya. Dua tiga bait awal Ia lalui dengan baik.
Atin yang telah terbiasa dengan lagu-lagu mulai menyadari makna dari lirik yang dinyanyikan Abid. Matanya mulai sayu, tatapannya hambar. Ia merunduk karena tak kuasa melihat lelaki itu mengungkapkan isi hatinya lewat syair yang amat mendalam. Perlahan, bulir air matanya mulai berjejal meminta keluar, ia tak kuasa menahan haru yang mengoyak relung hatinya.

Jadikan ini
Perpisahan yang termanis, yang indah dalam hidupmu
Sepanjang waktu
Semua berakhir
Tanpa dendam dalam hati, maafkan semua salahku
Yang mungkin menyakitimu



Abid menyelesaikan lagu itu dengan baik, riuh tepuk tangan para undangan mengiringi langkahnya menuruni panggung mini itu. Bahkan Umam tak menyangka Ia mampu mengendalikan emosinya. Berbeda dengan Atin, sedu sedan tak dapat ia tahan. Air matanya mengucur semakin deras.  Lagu itu menyayat seisi hatinya. Hamdan bahkan tampak kebingungan tak mengerti apa yang terjadi, Atin coba Ia tenangkan sebisanya.


  •   


Seminggu setelah pesta itu berlalu, Abid benar-benar merealisasikan makna dari lagu yang Ia nyanyikan kala itu. Ia memutuskan untuk pergi jauh dari lingkungan yang bisa mengingatkannya selalu pada Atin. Ia ingin memulai sebuah kehidupan baru tanpa bayang-bayang masa lalu. Tidak tanggung-tanggung, Mesir menjadi pilihannya. Hanya saja Ia pergi kesana bukan untuk belajar, melainkan bekerja pada sebuah perwakilan perusahaan Indonesia di Kairo. Dengan restu dari ibunya, serta di iringi Umam sahabatnya, Ia meninggalkan tanah air untuk waktu yang tak dapat Ia pastikan.

“Biaya move on mahal juga ya Bid.” Canda Umam disambut pekik tawa mereka.

Kabar itupun sampai ke telinga Atin. tak ada yang bisa Ia lakukan, dalam hatinya Ia hanya mendoakan segala yang terbaik bagi Abid. Ia pun berusaha menjalani rumah tangganya sebaik mungkin.



  •   



6 Tahun Kemudian

“Bang, kalau ada kesempatan sore ini diminta kerumah sama ayah.” Sapa Anna setibanya di ruang kerja Abid dengan wajah penuh harap. Abid kini di panggil kembali ke Indonesia guna di tempatkan di kantor induk.

“Insya Allah ya dik.” Abid tersenyum. “Memangnya ada apa?”
“Nggak tau bang, ayah cuma pesan begitu.”
 “Abang usahain nanti ya.”

Anna pun pamit setelah ngobrol ringan dengan Abid. Ia adalah putri dari pimpinan pusat perusahaan tempatnya bekerja, Abid mengenalnya sejak 3 tahun lalu saat masih sama-sama berada di Kairo, waktu itu Anna adalah mahasiswi di Universitas Al-Azhar yang letaknya tidak begitu jauh dengan kantornya. Anna adalah gadis yang cerdas, pandangan-pandangannya tentang perkembangan perekonomian dunia seringkali membuat Abid mengaguminya. Begitu pula dengan Anna, merasa nyaman karena menemukan sosok yang tepat untuk berbagi. Perlahan ia mulai menyukai pribadi Abid.

Pukul 4 sore, Abid sudah terlihat berada di teras depan rumah Anna saat Ia baru saja sampai rumah. Nampaknya ia sedang berbincang dengan Pak Burhan, ayah Anna.

“Lah kok duluan abang yang nyampe sini? Sudah lama?” cetus Anna
“Baru saja dik.” Tukas Abid
“Buatin minum ya Na.” Sahut ayah Anna
“Iya yah.” Jawabnya sembari bergegas masuk rumah

Abid dan Pak Burhan masih terlibat obrolan ringan saat Anna datang membawa nampan berisi minuman dingin. Keduanya sesekali terlihat tertawa kecil. Pak Burhan kemudian mengajak Anna untuk ikut duduk bersama mereka. Abid yang baru beberapa hari ini pulang dari Kairo banyak bercerita tentang perkembangan perusahaannya di kantor cabang Kairo, Pak Burhan pun dengan antusias mendengarnya.
Tiga puluh menit berlalu, Pak Burhan memperbaiki posisi duduknya, wajahnya tampak serius meneguk minuman di depannya.

“Begini.” Pak Burhan membuka percakapan, masih dengan wajah seriusnya. Abid dan Anna pun tak kalah serius menunggu apa yang akan dikatakannya.

“Saya sudah banyak mendengar cerita tentang nak Abid dari Anna, juga tentang kedekatan kalian selama di Kairo, Saya juga sudah sangat mengenalmu.” Pak Burhan memanggil Abid dengan panggilan anak karna dari segi usia memang beliau sebaya ibunya Abid. Nafas yang di helanya menyihir dua anak muda di depannya hingga membatu, tak sekata pun mereka ucapkan, mereka hanya menanti kelanjutan kalimat dari Pak Burhan.

 “Saya melihat kalian punya ketertarikan terhadap masing-masing, apa kalian tidak terpikir untuk menikah saja?” sambung Pak Burhan
Abid dan Anna kompak terperangah mendengar Pak Burhan yang to the point. Mereka tak menyangka hal itu yang akan dikatakannya.





“Kamu nikahi saja dia, toh juga dia sosok yang sempurna untuk jadi seorang istri.” Saran Umam setelah Abid menceritakan kejadian dua hari yang lalu di rumah Anna. “Bodoh Kamu, udah kayak kucing dikasi ikan malah minta waktu buat mikir.” Sambung Umam.
“Ngomong sih gampang Mam, kalau kucingnya gak nafsu makan gimana?” Abid membela diri
“Ya sudah buat Aku saja.” Pinta Umam
“Lah nggak gitu juga dong.”
“Tadi nggak mau, giliran buat Aku malah nggak ngasi, payah.”
“Ini perempuan Mam, bukan nasi bungkus pecel lele.”
“Lantas?”
“Aku takut tak bisa mencintainya, disisi lain juga nggak enak kalau harus menolak Pak Burhan.” Jelas Abid dengan ekspresi wajah datar.

Teras depan rumah Abid sore itu terdengar ramai meski hanya mereka berdua disana, canda mereka tentang Anna tak pernah ada habisnya. Hal yang biasa dilakukan pria bila bertemu dengan teman-temannya.

Seakan habis materi untuk dibahas, Umam mendengung tak jelas. Kedengarannya Ia sedang mencoba untuk bernyanyi. Abid memandangnya sinis.

“Baca mantra apa kamu Mam?” ejek Abid yang dibalas gerutuan dari Umam

Abid beranjak masuk kedalam rumah tanpa menghiraukan Umam yang masih saja bermantra, eh bernyanyi, tetapi hanya butuh tujuh kedipan mata hinga Ia kembali lagi keluar. Ditangan kanannya tampak Ia membawa sesuatu.

“Apa itu”? Selidik Umam
“Buat perbaiki telinga biar nggak pecah dengar Kamu nyanyi.” Abid meledek lagi
“Ini radio yang dari zaman Rhoma belum bisa main gitar itu ya?”
“Iya, radio lejen, penuh kenangan hehe.”
“Kenangan apaan, lecek gitu.”

Abid menyalakan radio itu, perlahan Umam mulai menikmati suara musik yang mengalun syahdu, tak disangkanya barang rongsok itu masih berfungsi dengan baik. Umam tak tau banyak tentang radio itu hingga Abid menceritakan semua yang tersirat dari benda tua tersebut. Yang berbeda hanya tak lagi ada pemandu siar yang mampu menyihirnya seperti dulu lagi.



  •  


Sedan putih yang di kendarai Atin berhenti di depan sebuah Sekolah Dasar tepat saat bel pulang berbunyi. Ia hendak menjemput Tina, anaknya yang kini duduk di kelas satu. Pandangannya sibuk mengamati satu per satu anak-anak yang keluar dari gerbang sekolah itu.

Tina tampak berlari-lari kecil dari kejauhan bersama teman-temannya, Atin melambaikan tangan padanya. Tetapi pandangannya beralih pada sosok pria yang mengiringi langkah anak-anak itu menuju gerbang sekolah. Tampaknya dia seorang guru, semakin dekat semakin lekat Atin memperhatikannya. Ia seperti mengenal sosok itu. Ia tak sadar bahwa Tina sudah berada didekatnya dan menyaksikan dirinya mematung. Atin mendekati pria itu.

“Abid?” Sapanya, masih dengan tatapan yang terheran-heran
Ya, pria itu adalah Abid
Abid tertegun sejenak, wajah dan suara itu ternyata masih  saja membuat jantungnya berdetak tak beraturan. Matanya tak berkedip menatap perempuan yang tak pernah bisa Ia singkirkan dari hatinya itu. Ia merasakan kembali getaran yang dulu pernah memporak porandakan jiwanya.

“Hei, Atin? Nggak nyangka bisa ketemu disini, apa kabar?” Sahutnya mencoba mengendalikan diri.
“Aku baik.” Atin masih tak percaya sosok didepannya itu benar-benar Abid. “Kapan pulang dari Kairo?”
“Baru sebulan mungkin, ini anak kamu?”
“Iya.” Atin mulai menundukkan pandangannya. “Kamu ngajar disini?” lanjutnya
“Nggak, sekolah ini dikelola yayasan Ibuku, jadi Aku kesini buat liat-liat saja.” Jelas Abid
“Kamu pulang kok nggak ngabarin?”

Abid terdiam tak dapat menjawab pertanyaan Atin.

“Lantas sehari-hari kamu ngapain?” Atin menyelidik
“Aku diminta stay di kantor pusat sama pimpinan.”
“Om Abid lucu ma, tadi di dongengin si kancil.” Celetuk Tina
“Oh ya?” Atin merunduk menatap mata anaknya
“Iya, besok lagi ya Om.” Pinta Tina kali ini menatap pada Abid
“Iya sayang.” Sahutnya tersenyum dan   mengelus kepala gadis kecil itu. Atin hanya tersenyum melihat keakraban mereka.

Atin tak segera pulang, ia tak ingin pertemuannya dengan Abid berlalu begitu saja. Abid pun setuju kala Atin meminta waktunya untuk makan siang bersama di sebuah cafe tak jauh dari sekolah itu. Rona bahagia tak dapat Atin sembunyikan. Tina tak kalah senangnya karena bisa menghabiskan waktu bersama sosok yang dianggapnya lucu itu.

Hampir seluruh detil kehidupan Abid di Kairo ditanyakan Atin sementara anaknya ia biarkan sibuk dengan gadgetnya, Ia begitu antusias mendengarkan cerita sang teman lama. Wajah lelaki itu tak pernah lepas dari tatapan matanya.

”Kamu sudah menikah?” Selidik Atin
“Belum.”
“Betah banget sendiri.”
Abid menghela nafas, ia mengangkat kepalanya lalu bersandar pada dinding cafe itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa membuka hati untuk orang lain sementara pelarian ragaku tak pernah mampu menghapus bayangmu dihatiku.” Jawab Abid setelah agak lama terdiam

Atin terhenyak mendengar pengakuan Abid, matanya berbinar tanpa mampu ia kendalikan. Ia tak menyangka bahwa dirinyalah alasan mengapa Abid masih sendiri.



“Maaf, aku nggak bermaksud lancang.” Lanjut Abid menyadari bahwa tak seharusnya ia mengatakan hal itu pada seorang perempuan yang telah bersuami. “Hamdan apa kabar?” Abid mengalihkan pembicaraan. Tetapi bukannya tengadah Atin justru semakin tertunduk, air matanya semakin deras saja, bahkan kini isaknya terdengar jelas oleh Abid. Abid menjadi tak mengerti, di pandangnya sosok didepannya itu dengan seksama berharap ada gestur tubuh yang setidaknya bisa mengurangi kebingungannya.

Sepuluh menit berlalu, tak sepatahpun kata berani diucapkan Abid, ia masih tak tau harus berbuat apa. Tina yang tadinya asyik sendiri pun kini mendekati ibunya dan bertanya mengapa ia menangis. Tak ada jawaban, hanya tangannya membuka dan meraih tubuh Tina, didekapnya anak itu lekat, lalu kemudian hening.

Abid menyaksikan semua itu dengan raut wajah dipenuhi tanda tanya, sesalah itukah ia mengutarakan isi hatinya tadi? Ataukah sesuatu telah terjadi pada pernikahannya?

Hamdan meninggal di tahun pertama pernikahan Kami.”

Sekian lama larut dalam keheningan akhirnya Atin membuka suara, yang mana jawaban itu membuat posisi duduk Abid berubah menjadi lebih tegak. Rasa tak percaya dan menyesal telah bertanya bergulat dikepalanya dan membuatnya membisu. Dan yang tak habisnya ia pikir, mengapa Umam tak menceritakan hal itu kepadanya.

Atin tak memberikan kesempatan pada Abid untuk bersuara, setelah mampu menguasai diri ia bercerita panjang tentang kecelakaan hebat yang merenggut nyawa suaminya. Air matanya memang sudah tak menetes lagi, namun rona kesedihan jelas terpancar dari wajahnya. Di luar sana gerimis tampak mulai berjatuhan, seperti berirama dengan tutur Atin yang menambah sendu suasana kala itu.

Hening.

10 menit dihabiskan masing-masing dari mereka untuk bernalar, saling menunggu untuk bicara.

“Bang Abid?” Sapa seseorang dari arah samping memecah sunyi yang menyelimuti ruang bicaranya dengan Atin.
“Anna?” Tengok Abid setengah terkejut. “Sedang apa disini?” Lanjutnya
“Pengen aja, abang sendiri ngapain?”
“Ehh...ini...” Entah kenapa Abid sedikit kikuk mengahadapi situasi tak terduga ini. “ Oh ya kenalkan, ini Atin sahabat lama saya.” Abid kemudian memperkenalkan Anna pada Atin sebagai anak dari atasannya.





“Jadi dia perempuan yang buat abang menutup hati untuk mereka-mereka yang dulu pernah mencoba mengetuknya?” Tanya Anna mendengar cerita Abid tentang Atin, setelah Atin pergi tentunya. Abid mengangguk pelan membuat rona di wajah Anna redup.

“Bahkan dengan kenyataan yang melekat padanya sekarang?” buru Anna menyinggung status Atin. abid tertunduk tak bersuara. Tak ingin Ia menyakiti hati gadis di depannya itu dengan jawaban yang sebenarnya sudah diketahuinya. Nyatanya, diamnya itu sudah cukup tajam untuk mengiris bawang tepat dibawah mata Anna hingga air matanya mengucur deras namun tak bersuara. Abid kian tertunduk,  matanya bermain dengan jemari dua tangannya yang ia dekatkan, tetapi hati dan benaknya kompak menyalahkan dirinya sendiri.

“Jawab dong bang, mau nikah sama Aku nggak sih?” Anna kian mendesak. “Aku siap terima kenyataan kok kalau abang belum bisa cinta sama aku, tapi perlahan nanti pasti bisa.” Yakin Anna
Abid menghela nafas, ia menatap lekat pada mata Anna yang masih berbinar, kemudian tersenyum. Alis Anna mengkerut pertanda tak mengerti maksud senyum Abid. Bahkan penulis pun tak tau makna senyum itu.





“Akhirnya kamu nikah juga Bid.” Bisik Umam yang mendampingi Abid menyalami seluruh tamu yang hadir di acara pernikahannya sore itu.
“Lega.” Jawab Abid sembari tersenyum puas kemudian melirik Anna disamping kirinya yang kini telah Ia peristri. Anna tersenyum menanggapi bisik-bisik dua sahabat itu. Canda-canda mereka seolah menceritakan bahagia yang tengah mereka rasakan.

Hampir  semua tamu telah meninggalkan tempat itu, hanya beberapa saja yang tersisa. Sampai akhirnya seseorang berjalan mendekat ke arah mereka.

“Selamat ya Bid.” Salamnya kemudian
“Terimakasih Tin.” Jawab Abid yang entah mengapa butuh seperempat menit baginya untuk menyadari bahwa sosok itu adalah Atin.
“Kamu tau jalan pulang.” Sambungnya sembari menatap lekat mata Abid, Ia kemudian menyalami Anna dan berlalu meninggalkan mereka yang tak sempat bertanya tentang maksud ucapannya.
“Atin.” Abid berusaha memanggilnya, namun suaranya seperti tertahan. Berulang kali Ia mencobanya tetapi tetap saja tak bisa.
“Bid... Abid...” Panggil Umam yang juga kebingungan melihatnya kelu. “Bid...” Umam mencoba kembali.

Abid mendengar suara Umam, namun Ia seperti tak menyadari keberadaannya. Pandangannya tiba-tiba berubah silau, seseorang seperti sengaja memancarkan cahaya ke arah matanya.
“Bid, Kamu kok tidur di kantor sih?” gerutu Umam seketika membuat Abid tersadar
“Ah? Mmmm...” Abid mengucek matanya dan mendapati Umam telah berdiri di depannya. Abid menatap sekelilingnya.
“Ini kantor?” Tanya Abid polos
“Ya iyalah, sejak kapan ini jadi kamar hotel?”
Abid tersenyum kecil menyadari bahwa semua yang di alaminya tadi hanyalah mimpi.
“Malah senyum-senyum nggak jelas, aneh Kamu.” Umam terus saja menggerutu namun Abid tak menghiraukannya.

Tiing tuung...

Handphone Abid yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya berdenting, pertanda sebuah pesan masuk. Perlahan di raihnya HP itu.

Bang, nggak pa2 lah kalau nggak bisa nikahin adk
Nggk perlu jelasin apa2, adk ngerti kok
Adk jg udah ngomong sama ayah dan alhamdulillah beliau ngerti posisi abang
 jd abang nggk perlu ngerasa nggak enak sama ayah.

Anna

Sejenak Abid terlihat berpikir keras, kemudian berulang kali menganggukkan kepalanya. Umam kebingungan.

“SMS siapa?” Tak ingin penasaran mengganggunya, Iapun bertanya
“Mau tau aja.” Jawab Abid sekenanya kemudian tersenyum lebar membuat Umam menggeleng-geleng mendapati sahabatnya yang semakin aneh saja.
“Ayo keluar cari makan.” Lanjut Abid kemudian
“Gitu kek dari tadi.”

“Aku tau jalan pulang.”  Gumam Abid pelan


  •  


“Saya terima nikahnya Agustina Alsyagofa binti Alimuddin dengan maskawin tersebut, tunai.”
“Bagaimana para saksi nikah, sah?”
“Saaaahhhh....”
“Alhamdulillah barakallah....”


Lantang dan riuhnya suasana akad nikah sore itu terdengar hingga tiga empat ruangan di sekitar aula kantor KUA tempat berlangsungnya acara tersebut.

“Akhirnya kamu nikah beneran juga.” Bisik Umam meledek Abid yang kemarin sempat bercerita tentang mimpinya. Umam pula lah yang meyakinkan Abid untuk menyegerakan pernikahan itu.
“Ini bukan mimpi lagi kan?” Tukas Abid yang di sambut tawa renyah mereka, tak terkecuali Atin yang berdiri tepat di sampingnya di dampingi Ibunda Abid dan Tina.

Abid menoleh ke arah Atin. Beberapa scene kenangan seperti terputar kembali satu persatu di benaknya. Bagaimana mereka dulu bertemu, bagaimana dulu ia begitu tenggelam dalam kekagumannya pada hawa itu. Betapa dulu ia pernah rela pilu demi bahagia sang cinta.

Seperti tak ada yang berubah. Atin tetaplah sosok yang mengagumkan, indah parasnya seperti tak pernah pudar, teduh senyumnya selalu saja memberikan kesejukan. Tuturnya merasuk bagai sihir sang peri, perangainya tergambar dari senyumnya. Betapa Ia adalah anggukan bagi setiap pertanyaan akan keindahan. Ia tetap Atin yang dulu. Yang berbeda hanyalah kini Abid tak sekedar mengagumi, tetapi memilikinya.

Atin menatap pada Abid yang sejak tadi memperhatikannya, mereka berbalas senyum.
“Sudah sudah, nanti pacarannya.” Umam menghentikan perjalanan mereka bertamasya ke dunia hayal. Keduanya tersipu.

“Terimakasih radio tua.” Abid membatin.

SELESAI

4 komentar:

Artikel Terkait

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *