Abid bergegas seketika setelah melihat jam
dilayar hp-nya, dengan berlari-lari kecil ia meninggalkan teman-temannya yang
tengah berdiskusi tentang kegiatan ramadhan di kampungnya. Teman-temannya pun
keheranan dibuatnya.
Dengan jumlah langkah yang dapat
dihitung, ia kini sudah berada didepan pintu rumahnya, sebuah bangunan
sederhana yang terletak di ujung selatan kampung. Tak ingin berlama-lama mengatur nafas setelah
setengah berlari, ia langsung masuk dan menyasar pintu kamar. Disana, ia
seperti mencari sesuatu, pandangannya menyapu bersih seluruh sudut kamar,
mencoba menemukan sesuatu yang seperti memanggilnya untuk segera pulang.
“Ah, disitu rupanya.” Gumamnya
setelah pandangannya menabrak sebuah radio tua di salah satu sudut kamar, lalu
dengan segera menyalakannya. “Yess tepat waktu.” Batinnya
Pukul 8.30 malam itu, acara di
radio yang ia tunggu sejak tadi pagi
sudah mulai, sebuah acara curhat-curhatan ala anak muda yang di selingi dengan
lagu-lagu romantis. Alunan musik pop ringan menjadi pembukanya. Bukan, bukan
lagu-lagunya yang ingin ia dengarkan, tapi suara sang penyiar, mbak Atin, nama
bekennya. Hatinya bergetar saat Atin mulai menyapa para pendengarnya. Suaranya
pelan dan teduh, semakin membuat aliran darahnya tak beraturan.
Atin, penyiar idolanya, adalah
teman seangkatannya dulu waktu masih bersekolah di madrasah tsanawiyah. Tiga
hari yang lalu mereka bertemu (setelah terpisah hampir 8 tahun karena
melanjutkan sekolah di tempat berbeda) dalam sebuah acara buka bersama yang di
gelar oleh teman-teman seangkatannya. Di pertemuan itu wajah Atin tak pernah
lepas dari pandangannya, ia bahkan ingin menggenggam setiap senyumnya. Abid
terpana saat menyadari bahwa temannya yang tak begitu ia kenal dulu kini menjelma menjadi wanita
yang seperti mendapat percikan kecantikan dari bidadari. Abid memberanikan diri
mendekatinya, menyalaminya dan kemudian saling bertanya sejauh mana ingatan
mereka masing-masing. Tak banyak yang mereka bicarakan, karena beberapa saat
kemudian Atin larut dalam obrolan penuh canda dengan teman-teman lainnya. Abid
bahkan tak sempat bertanya tentang keseharian Atin, apalagi meminta nomor
handphonenya. Keadaan saat itu sungguh hanya memberikannya peran sebagai
karakter figuran yang hanya muncul sekelebat saja dalam pandangan Atin.
Abid tak patah arang, demi
memenuhi hasrat keingintahuannya tentang makhluk hampir sempurna tadi, ia mulai
mengumpulkan informasi dengan bertanya
pada teman-teman lain yang kenal dekat dengan Atin. Dari sana pula ia tahu
bahwa Atin, selain sebagai seorang pengajar, juga adalah seorang penyiar radio.
Setengah jam berlalu, Abid
semakin larut dalam tutur sang idola. Dalam benaknya terbayang bagaimana gadis
itu dengan lembutnya melepas untaian kata-kata dari bibirnya. Sungguh sebuah kekaguman
yang tak dapat ia sembunyikan.
v
“Senin depan kita diundang Adil
ke acara resepsinya, kita dateng ya, semua alumni diundang.” Ucap Umam sesaat
setelah telponnya diangkat Abid.
Memori diotak Abid berputar ke
tiga bulan lalu, saat mereka menggelar acara buka puasa bersama. Senyum
diwajahnya, gejolak dihatinya serta ucapan Oke dari mulutnya seakan berlomba
untuk mengiyakan ajakan temannya itu. Betapa tidak, ini akan menjadi kesempatan
baik baginya untuk bisa bertemu kembali dengan gadis jelita yang selama ini
menemani setiap malamnya meski hanya lewat udara. Ya, hingga kini Abid masih
setia membiarkan Atin mengoyak-ngoyak hatinya dengan suara merdu di setiap
siarannya.
Abid menutup telpon itu dengan
raut wajah bagai seorang pendukung tim sepakbola yang tengah merayakan
kemenangan.
v
Sebagian besar teman-teman
seangkatannya terlihat sudah datang. Mereka bercengkrama dengan Adil dan
istrinya yang tengah bahagia. Tetapi Abid muram, ia gelisah karena Atin belum
juga nampak. Sudah hampir satu jam pandangannya lekat pada gerbang perhelatan
itu. Abid tak ingin sedetikpun melewatkan pandangannya dari Atin jika tiba
nanti. Raganya ditengah kerumunan, tetapi matanya bagai petugas keamanan yang
siaga di pintu gerbang. Penantiannya selama tiga bulan akan sia-sia jika Atin
tidak datang.
Belum sempat ia menghirup udara
kembali setelah meracau tadi, tiba-tiba ia terpana. Sebuah cahaya menyilaukan
matanya, melenyapkan dahaganya, mengakhiri pengharapannya. Atin datang.
Bak bintang film bollywood yang
bernyanyi ditengah keramaian, senyum di bibir Abid tak hentinya mengembang.
Sungguh ia tak tau harus berbuat apa. Rasa takjubnya menghentikan seluruh
aliran darahnya hingga berkedip pun ia
tak bisa. Susah payah Abid menjaga kesadarannya agar tak lenyap
terhempas gejolak jiwa.
“Hay Atin.” Setelah kesadarannya
memenangkan pergumulan hebat dalam dirinya, Abid memberanikan diri menyapa
Atin. Berbekal keberanian dan tekad yang berusaha ia kumpulkan di ubun-ubunnya,
ia mencoba melempar senyum.
“Heyy….Abid? sudah lama?”
Suara lembut yang biasa ia
nikmati hanya melalui udara itu, kini kembali ia dengarkan secara langsung
didepan matanya, pula dengan senyum yang dahsyatnya melebihi ledakan nuklir
khas Atin. Darah Abid kembali membeku, lidahnya kelu. Bibirnya belum sempat terkatup
karna menahan gelombang yang entah apa namanya.
“Lu…lumayan.” Jawab Abid terbata.
“Kamu kenapa lama?” sambungnya setelah sekian detik terdiam. Ia menyadari bahwa
sekian lama setelah perjumpaan pertama mereka tiga bulan lalu, getaran yang
bersemayam dalam hatinya kini tumbuh menjadi goncangan dahsyat yang bisa saja
seketika melumpuhkan akal sehatnya.
“Iya, nungguin jemputan tadi,
kenalin nih pacar Aku.” Jawab Atin lembut sambil menunjuk kepada seorang pria
disampingnya, masih dengan senyum tornadonya.
Pacar?
Belum sempat Abid mendapatkan
jawaban atas pertanyaan dikepalanya yang mencari tau bersama siapa Atin datang
ke acara itu, kini kepalanya seperti dituangi lahar panas, perlahan mengguyur
seluruh tubuhnya hingga akhirnya tak ada yang tersisa dari dirinya. Abid tak
pernah menyadari bahwa sedari tadi disamping Atin berdiri seorang pria bertubuh
tegap, tampan dan nampak berwibawa. Kelenaannya pada Atin membuat hal-hal
disekelilingnya tak mendapat kesempatan untuk diperhatikan.
v
Seminggu berlalu, Abid kini mulai
terbiasa kembali mendengarkan suara Atin lewat radio tuanya. Meski tak
se-antusias dulu, tapi Abid tetap setia meluangkan waktunya untuk mendengar
seluruh cerita dan canda tawa Atin. Pengharapannya kini ia tata kembali hingga
menjadi kekaguman yang wajar. Lagi pula, tak pantaslah baginya menyanding Atin.
Mata Abid sudah mulai terpejam,
namun telinganya masih tak pernah luput dari suara dibalik radio itu. Sayup
terdengar Atin menjawab sebuah pertanyaan seorang penelpon di acara itu.
“Kalau kisah cinta mbak Atin gimana, menarik nggak sih?” Tanya
penelpon itu
“Hahaha, ini ceritanya strike balik nih? Mmmm… biasa aja sih sebenarnya,
cuma akhir-akhir ini Aku terusik sama cerita seorang temanku. Katanya ada
seseorang yang suka banget sama Aku sampe-sampe tiep malem mantengin radio cuma
buat dengerin Aku siaran. Heran juga sih dia bisa tahen pendem segitu lama,
kalo dia ngomong dari dulu mungkin bakal beda ceritanya.”
“Oke mau request lagu apa nih?” Atin mengalihkan pembicaraan
“Apa aja deh mbak yang pilihin.” Tukas
sang penelpon lalu mengakhiri percakapan
Abid masih diselimuti beragam
pertanyaan setelah menyimak ulasan singkat dari Atin tadi. Ia bertanya-tanya,
mungkinkah Atin memendam perasaan terhadap orang lain selain kekasihnya itu?
“Nggak terasa uda 60 menit Atin nemenin kalian semua malam ini, itu
artinya Atin harus undur diri, semoga terhibur aja ya. Mohon maaf bila ada
salah-salah kata.”
“Sebagai tembang pamungkas nih, Atin bakal puterin single miliknya
Peterpan featuring Chrisye dengan Cinta Yang Lain special buat kamu yang masih
saja sembunyi dibalik radio itu. Good night all, good night Bid, and bye-bye.”
Abid tersentak, ternyata
dirinyalah yang dimaksud Atin dalam penggalan percakapan tadi. Setengah tidak percaya,
ia menggerak-gerakkan tangannya untuk memastikan bahwa ia tidak sedang
bermimpi. Hanya Umam yang tau tentang perasaan yang dipendam Abid. Dialah satu-satunya kemungkinan bagaimana Atin bisa tau rahasia hatinya.
Tetapi seketika pula Abid
tersadar bahwa dirinya tak kan pernah bisa menjadi pantas untuk Atin. Abid memeluk
radio tuanya, meluapkan terimakasihnya selama ini menjadi perantara baginya
menikmatinya suara sang pujaan.
v
Undangan pesta pernikahan sudah
siap untuk disebarkan. Tenda-tenda sudah mulai berdatangan. Sepertinya semua
berjalan dengan baik. Pesta pernikahan Atin akan digelar dua hari lagi, tetapi
semuanya sudah hampir selesai.
“Ummi, bukannya acaranya lusa ya? Kok sudah siap semua kayak mau besok
aja, hebat nih WO-nya.” Ujar Atin seraya menghampiri ibu mertuanya
“Bagus dong sayang kita
persiapkan lebih awal. WO-nya kan temen kamu juga.” Sahut Ummi
“Temen aku mi? siapa?”
“Tuh…!” Ummi menunjuk seorang
pemuda yang sedang berjalan kearah mereka
Atin tersentak dan setengah
berteriak.