Sabtu, 25 Juni 2016

Balada Radio Tua






Abid bergegas seketika setelah melihat jam dilayar hp-nya, dengan berlari-lari kecil ia meninggalkan teman-temannya yang tengah berdiskusi tentang kegiatan ramadhan di kampungnya. Teman-temannya pun keheranan dibuatnya.
Dengan jumlah langkah yang dapat dihitung, ia kini sudah berada didepan pintu rumahnya, sebuah bangunan sederhana yang terletak di ujung selatan kampung.  Tak ingin berlama-lama mengatur nafas setelah setengah berlari, ia langsung masuk dan menyasar pintu kamar. Disana, ia seperti mencari sesuatu, pandangannya menyapu bersih seluruh sudut kamar, mencoba menemukan sesuatu yang seperti memanggilnya untuk segera pulang.
“Ah, disitu rupanya.” Gumamnya setelah pandangannya menabrak sebuah radio tua di salah satu sudut kamar, lalu dengan segera menyalakannya. “Yess tepat waktu.” Batinnya

Pukul 8.30 malam itu, acara di radio yang ia tunggu sejak  tadi pagi sudah mulai, sebuah acara curhat-curhatan ala anak muda yang di selingi dengan lagu-lagu romantis. Alunan musik pop ringan menjadi pembukanya. Bukan, bukan lagu-lagunya yang ingin ia dengarkan, tapi suara sang penyiar, mbak Atin, nama bekennya. Hatinya bergetar saat Atin mulai menyapa para pendengarnya. Suaranya pelan dan teduh, semakin membuat aliran darahnya tak beraturan.

Atin, penyiar idolanya, adalah teman seangkatannya dulu waktu masih bersekolah di madrasah tsanawiyah. Tiga hari yang lalu mereka bertemu (setelah terpisah hampir 8 tahun karena melanjutkan sekolah di tempat berbeda) dalam sebuah acara buka bersama yang di gelar oleh teman-teman seangkatannya. Di pertemuan itu wajah Atin tak pernah lepas dari pandangannya, ia bahkan ingin menggenggam setiap senyumnya. Abid terpana saat menyadari bahwa temannya yang tak begitu  ia kenal dulu kini menjelma menjadi wanita yang seperti mendapat percikan kecantikan dari bidadari. Abid memberanikan diri mendekatinya, menyalaminya dan kemudian saling bertanya sejauh mana ingatan mereka masing-masing. Tak banyak yang mereka bicarakan, karena beberapa saat kemudian Atin larut dalam obrolan penuh canda dengan teman-teman lainnya. Abid bahkan tak sempat bertanya tentang keseharian Atin, apalagi meminta nomor handphonenya. Keadaan saat itu sungguh hanya memberikannya peran sebagai karakter figuran yang hanya muncul sekelebat saja dalam pandangan Atin.

Abid tak patah arang, demi memenuhi hasrat keingintahuannya tentang makhluk hampir sempurna tadi, ia mulai mengumpulkan informasi dengan  bertanya pada teman-teman lain yang kenal dekat dengan Atin. Dari sana pula ia tahu bahwa Atin, selain sebagai seorang pengajar, juga adalah seorang penyiar radio.

Setengah jam berlalu, Abid semakin larut dalam tutur sang idola. Dalam benaknya terbayang bagaimana gadis itu dengan lembutnya melepas untaian kata-kata dari bibirnya. Sungguh sebuah kekaguman yang tak dapat ia sembunyikan.


v   


“Senin depan kita diundang Adil ke acara resepsinya, kita dateng ya, semua alumni diundang.” Ucap Umam sesaat setelah telponnya diangkat Abid.
Memori diotak Abid berputar ke tiga bulan lalu, saat mereka menggelar acara buka puasa bersama. Senyum diwajahnya, gejolak dihatinya serta ucapan Oke dari mulutnya seakan berlomba untuk mengiyakan ajakan temannya itu. Betapa tidak, ini akan menjadi kesempatan baik baginya untuk bisa bertemu kembali dengan gadis jelita yang selama ini menemani setiap malamnya meski hanya lewat udara. Ya, hingga kini Abid masih setia membiarkan Atin mengoyak-ngoyak hatinya dengan suara merdu di setiap siarannya.
Abid menutup telpon itu dengan raut wajah bagai seorang pendukung tim sepakbola yang tengah merayakan kemenangan.


v   


Sebagian besar teman-teman seangkatannya terlihat sudah datang. Mereka bercengkrama dengan Adil dan istrinya yang tengah bahagia. Tetapi Abid muram, ia gelisah karena Atin belum juga nampak. Sudah hampir satu jam pandangannya lekat pada gerbang perhelatan itu. Abid tak ingin sedetikpun melewatkan pandangannya dari Atin jika tiba nanti. Raganya ditengah kerumunan, tetapi matanya bagai petugas keamanan yang siaga di pintu gerbang. Penantiannya selama tiga bulan akan sia-sia jika Atin tidak datang.

Belum sempat ia menghirup udara kembali setelah meracau tadi, tiba-tiba ia terpana. Sebuah cahaya menyilaukan matanya, melenyapkan dahaganya, mengakhiri pengharapannya. Atin datang.

Bak bintang film bollywood yang bernyanyi ditengah keramaian, senyum di bibir Abid tak hentinya mengembang. Sungguh ia tak tau harus berbuat apa. Rasa takjubnya menghentikan seluruh aliran darahnya hingga berkedip pun ia  tak bisa. Susah payah Abid menjaga kesadarannya agar tak lenyap terhempas gejolak jiwa.

“Hay Atin.” Setelah kesadarannya memenangkan pergumulan hebat dalam dirinya, Abid memberanikan diri menyapa Atin. Berbekal keberanian dan tekad yang berusaha ia kumpulkan di ubun-ubunnya, ia mencoba melempar senyum.

“Heyy….Abid? sudah lama?”
Suara lembut yang biasa ia nikmati hanya melalui udara itu, kini kembali ia dengarkan secara langsung didepan matanya, pula dengan senyum yang dahsyatnya melebihi ledakan nuklir khas Atin. Darah Abid kembali membeku, lidahnya kelu. Bibirnya belum sempat terkatup karna menahan gelombang yang entah apa namanya.

“Lu…lumayan.” Jawab Abid terbata. “Kamu kenapa lama?” sambungnya setelah sekian detik terdiam. Ia menyadari bahwa sekian lama setelah perjumpaan pertama mereka tiga bulan lalu, getaran yang bersemayam dalam hatinya kini tumbuh menjadi goncangan dahsyat yang bisa saja seketika melumpuhkan akal sehatnya.

“Iya, nungguin jemputan tadi, kenalin nih pacar Aku.” Jawab Atin lembut sambil menunjuk kepada seorang pria disampingnya, masih dengan senyum tornadonya.

Pacar?

Belum sempat Abid mendapatkan jawaban atas pertanyaan dikepalanya yang mencari tau bersama siapa Atin datang ke acara itu, kini kepalanya seperti dituangi lahar panas, perlahan mengguyur seluruh tubuhnya hingga akhirnya tak ada yang tersisa dari dirinya. Abid tak pernah menyadari bahwa sedari tadi disamping Atin berdiri seorang pria bertubuh tegap, tampan dan nampak berwibawa. Kelenaannya pada Atin membuat hal-hal disekelilingnya tak mendapat kesempatan untuk diperhatikan.


v   


Seminggu berlalu, Abid kini mulai terbiasa kembali mendengarkan suara Atin lewat radio tuanya. Meski tak se-antusias dulu, tapi Abid tetap setia meluangkan waktunya untuk mendengar seluruh cerita dan canda tawa Atin. Pengharapannya kini ia tata kembali hingga menjadi kekaguman yang wajar. Lagi pula, tak pantaslah baginya menyanding Atin.

Mata Abid sudah mulai terpejam, namun telinganya masih tak pernah luput dari suara dibalik radio itu. Sayup terdengar Atin menjawab sebuah pertanyaan seorang penelpon di acara itu.

Kalau kisah cinta mbak Atin gimana, menarik nggak sih?” Tanya penelpon itu
Hahaha, ini ceritanya strike balik nih? Mmmm… biasa aja sih sebenarnya, cuma akhir-akhir ini Aku terusik sama cerita seorang temanku. Katanya ada seseorang yang suka banget sama Aku sampe-sampe tiep malem mantengin radio cuma buat dengerin Aku siaran. Heran juga sih dia bisa tahen pendem segitu lama, kalo dia ngomong dari dulu mungkin bakal beda ceritanya.”
“Oke mau request lagu apa nih?” Atin mengalihkan pembicaraan
Apa aja deh mbak yang pilihin.” Tukas sang penelpon lalu mengakhiri percakapan

Abid masih diselimuti beragam pertanyaan setelah menyimak ulasan singkat dari Atin tadi. Ia bertanya-tanya, mungkinkah Atin memendam perasaan terhadap orang lain selain kekasihnya itu?

“Nggak terasa uda 60 menit Atin nemenin kalian semua malam ini, itu artinya Atin harus undur diri, semoga terhibur aja ya. Mohon maaf bila ada salah-salah kata.”

“Sebagai tembang pamungkas nih, Atin bakal puterin single miliknya Peterpan featuring Chrisye dengan Cinta Yang Lain special buat kamu yang masih saja sembunyi dibalik radio itu. Good night all, good  night Bid, and bye-bye.”

Abid tersentak, ternyata dirinyalah yang dimaksud Atin dalam penggalan percakapan tadi. Setengah tidak percaya, ia menggerak-gerakkan tangannya untuk memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi. Hanya Umam yang tau tentang perasaan yang dipendam Abid. Dialah satu-satunya kemungkinan bagaimana Atin bisa tau rahasia hatinya.
Tetapi seketika pula Abid tersadar bahwa dirinya tak kan pernah bisa menjadi pantas untuk Atin. Abid memeluk radio tuanya, meluapkan terimakasihnya selama ini menjadi perantara baginya menikmatinya suara sang pujaan.


v   


Undangan pesta pernikahan sudah siap untuk disebarkan. Tenda-tenda sudah mulai berdatangan. Sepertinya semua berjalan dengan baik. Pesta pernikahan Atin akan digelar dua hari lagi, tetapi semuanya sudah hampir selesai.

“Ummi, bukannya acaranya  lusa ya? Kok sudah siap semua kayak mau besok aja, hebat nih WO-nya.” Ujar Atin seraya menghampiri ibu mertuanya

“Bagus dong sayang kita persiapkan lebih awal. WO-nya kan temen kamu juga.” Sahut Ummi

“Temen aku mi? siapa?”

“Tuh…!” Ummi menunjuk seorang pemuda yang sedang berjalan kearah mereka

Atin tersentak dan setengah berteriak.


Intro



Panggil Gue  Fed…
Gue lahir dari keluarga sederhana (bahasa sopannya miskin coy), religius, rada ambisius, optimius, spritus. Tapi nggak religius-religius banget kok, kayak yang fanatik-fanatik itu.  Gue juga doyan cewek keles. Eh suka maksudnya, jangan tafsirin berlebihan ya. Sejak kecil Gue dididik buat jadi anak mandiri, taat beragama, bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang Gue  lakukan. Intinya Gue anak baik. Tapi tetep…. Miskin!

Artikel Terkait

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *